Kamis, 24 November 2011

ISLAM JAWA

Islam memang tidak bisa dilepaskan dengan lingkungan di mana agama ini diturunkan, yakni di tanah Arab. Artefak budaya Islam yang nyaris keseluruhannya mengandung unsur budaya dan tradisi Arab dan seakan-akan menjadi sentrum budaya dominan ketika berbicara tentang Islam. Pandangan yang berakar dari perpektif patron-client ini pada gilirannya memunculkan problem otensitas yang tidak kunjung selesai. Islam dan Arab menjadi dua sisi mata uang yang tidak bisa dilepaskan, sehingga yang tidak berakar dari Arab atau yang telah berasimilasi dengan unsur budaya lain kerap di sebut sebagai tidak “Islami”. Di sinilah problem Islam yang otentik kemudian muncul menjadi persoalan besar masyarakat Islam di awal abad ke-20. Problem dua kutub, Islam global dan Islam lokal menjadi diskursus yang melelahkan dan tidak kunjung terpecahkan. Tulisan ini merupakan telaah singkat tentang salah satu ikon indentitas keislaman masyarakat Jawa. Realitas ke-“Jawa”-an merupakan salah satu element yang sangat berpengaruh dalam memahami Islam dalam konteks masyarakat Jawa. Pada akhirnya, Islam yang berkembang dalam masyarakat Jawa terlibat dalam perdebatan “otensitas Islam”, dan merupakan bukti pemahaman Islam yang partikular dalam sistem nilai yang universal.
Islam Jawa
Jauh sebelum Islam datang, masyarakat Jawa telah memiliki pandangan hidup (world view) yang cukup mapan. Dalam bidang keagamaan masyarakat Jawa pra-hindu telah memiliki kesadaran keagamaan. Kesadaran keagamaan tersebut tampak pada keyakinan masyarakat Jawa terhadap kekuatan-kekuatan adikodrati yang mengatasi segala hal. Keyakinan ini mengantarkan masyarakat Jawa pada kesadaran kosmik dan nouminious atau kesadaran religiusitas.  Dua kesadaran tersebut merupakan kesadaran yang saling terkait, sebagaimana dua sisi mata yang saling mengisi yang kemudian mengendap menjadi kebudayaan Jawa dan menjadi “langit suci” segala aspek kehidupan masyarakat Jawa. Munculnya ritual slametan merupakan bukti konkret masyarakat Jawa dalam mengendapkan kesadaran ketuhanan yang terinstusionalisasikan. Kesadaran ini memiliki fungsi sosial yang luar biasa, yaitu dalam membangun ikatan sosial antar individu dalam masyarakat Jawa, serta mewujudkan keselarasan hidup. Etika patembayan (gotong royong) juga menjadi contoh lain yang juga bentuk kebudayan yang menghadirkan gambaran kosmologis Jawa dengan kesadaran nouminious tersebut. Sementara itu, Heire Gilden mengungkapkan bahwa kesadaran ketuhanan masyarakat Jawa sangat terkait dengan konsep sosial mereka, utamanya dalam membangun etika politik. Keraton sebagai penguasa tidak hanya sebagai kekuatan politik belaka, namun keraton juga merupakan sumber kekuatan kosmik yang dianugrahkan dzat adikodrati kepada salah satu manusia pilihan-Nya. Kesadaran tersebut memunculkan konsep tentang raja-dewa, yakni kesadaran tentang raja sebagai penguasa yang diberikan tugas untuk mengatur semua aspek kehidupan manusia yang harus dipatuhi dan diikuti oleh masyarakatnya.
Setelah Hindu-Budha ke Nusantara keyakinan masyarakat Jawa itu mampu berakulturasi dengan keyakinan dua kebudayaan pendatang. Konsep keteraturan hidup yang sangat erat kaitanya dengan pola hubungan manusia dengan dzat ilahiyah yang merupakan kesadaran kosmis yang genuine dari masyarakat Jawa pada kesejarahannya mampu berasimilasi dengan kebudayaan India (Hindu-Budha). Perkawinan budaya lokal dengan pendatang tersebut pada mulanya berjalan pada ranah sastra, hal itu tampak pada beberapa karya sastra Jawa klasik seperti kakawin Sutasoma yang dikarang oleh Mpu Tantular. Karya tersebut berisi pesan keagaman yang menceritakan seorang Bodhha yang memuja adi-boddha.
Dalam kontek struktur sosial, asimilasi Jawa dan budaya Hindhu-Budha mempengaruhi konsep kelas. Sehingga Danis Lombard membagi pada tiga kelompok sosial masyarakat Jawa, pertama adalah kelompok agamawan Hindhu-Budha yang memiliki kelas sosial yang istimewa dengan kelebihannya dalam bidang agama. Kedua adalah kelas raja yang menguasai raka atau kelompok raja kecil (penguasa lokal), yang berkuasa dibawah kekuasaan raja tersebut. Ketiga adalah kelompok masyarakat kecil yang berhak membayar pajak pada penguasa lokal. Kelompok ini adalah kelompok paling rendah dalam masyarakat Jawa. Pada wilayah ritual keagamaan juga terjadi asimilasi budaya tersebut, misalnya munculnya jamasan atau perawatan benda-benda keramat. Upacara Grebeg sebagai persembahan kepada raja yang diyakini sebagai representasi kekuatan Tuhan di muka bumi.
Beberapa abad setelah kebudayaan Jawa yang telah mengalami asimilasi budaya secara besar-besaran dengan kebudayaan Hindu-budha, Islam-pun hadir dengan konsep yang tak kalah tolerannya dengan dua kebudayaan asing sebelumnya. Tidak banyak diketahui tentang kapan Islam datang ke Nusantara, namun beberapa pakar berpendapat bahwa Islam datang ke Nusantara 1 Desember 1082 M. Pendapat tersebut didasarkan pada batu nisan makam Fatimah binti Maimun yang tertulis dengan huruf Arab. Dalam beberapa literatur juga disebutkan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada tahun 674 M. Pendapat itu didasarkan pada berita Cina yang mengisahkan kedatangan utusan Raja Ta Cheh, yaitu sebutan bagi orang Arab, kepada Ratu Sima yang berkuasa di Nusantara.
Terlepas dari kontrovesi tentang kapan tepatnya Islam mulai menyentuh tanah Nusantara, para pakar sejarah bersepakat bahwa Islam pada permulaan abad ke-XV telah berhasil menerobos kota-kota perdagangan di pesisir utara pulau Jawa, yang selama berabad-abad sebelumnya merupakan pusat kerajaan Hindu-Jawa. Bahkan, pada awal abak XVII, sudah dapat dikatakan bahwa Islam telah menyebar ke sebagian besar wilayah Nusantara. Cara perkembangan Islam di Nusantara ini bukanlah melalui kekuatan penaklukan oleh tentara Islam, melainkan jalur perpedagang, perkawinan dan sufisme.
Pada awal perkembangannya, Islam di Indonesia, terutama sekali di Pulau Jawa sebagai pulau yang paling padat penduduknya serta pusat kerajaan Hindu-Jawa, menekankan pada tata cara ibadah ketimbang akidahnya. Akidah Islam yang ditanamkan kepada masyarakat mulai ditanamkan jauh hari setelah tersebarnya ibadah Islam, pun juga nampaknya masih harus menyesuaikan diri dengan tradisi-tradisi serta keyakinan penduduk yang telah berurat akar beberapa abad. Dengan demikian, untuk jangka waktu yang cukup panjang sejak awal perkembangannya, bahkan sampai pada abak XIX, Islam Indonesia, khususnya di Jawa, masih memperlihatkan rautnya yang sinkretik, yaitu campur aduk dengan sufisme dan mistisme kepercayaan “pribumi” yang bersumber dari perkawinan budaya asli masyarakat Jawa dengan agama Hindu dan Budha.
Darori Amin menyebutkan sikretisme Jawa Islam tampak pada beberapa bidang kehidupan masyarakat Jawa. Pertama adalah dalam bidang pemahaman, yakni penggabungan pemahaman antara dua atau lebih aliran yakni Islam, Hindhu, Budha dan budaya asli Jawa. Hal ini tampak pada pengucapan syahadat sebagai pengakuan kepada ketuhan Allah dan kerosulan Muhammad dalam bahasa Jawa, ketaatan kepada raja yang diwariskan dari kebudayaan raja dewa, ketaatan kepada orang tua, saudara tua, mertua dan guru.
Bentuk kedua adalah dalam masalah kepercayaan yang terbagi dalam dua bentuk kepercayaan yang mengawinkan Jawa-Islam. Pertama adalah dalam konsep kosmogoni dan kosmologi. Kepercayaan dalam hal ini ditandai keyakinan tentang doktrin penciptaan. Brahmana diyakini sebagai sang pencipta bumi, Wisnu (dewa dalam Hindhu) sebagai pencipta manusia dan adam adalah manusia pertama yang diciptakan. Bentuk kepercayaan kedua adalah dalam konteks silsilah raja-raja Mataram yang bertujuan untuk menguatkan legitimasi kekuasaan raja Jawa. Munculnya istilah panengenan merupakan usaha raja untuk menunjukkan dirinya sebagai keturunan orang-orang besar, seperti klaim tentang keturunan Nabi Muhammad.
Bentuk ketiga adalah dalam bidang ritual. Ritual keagamaan islam Jawa sengat berkaitan dengan siklus kehidupan (siklus peralihan/rites de passage) yang diyakini merupakan masa trasisi yang rawan akan “goro-goro” (kekacauan). Maka untuk mengantisipasi dampak buruk dari goro-goro tersebut, biasanya dalam masyarakat Jawa dilakukan ritual khusus, seperti ritual midodareni di waktu menjelang upacara perkawian, sebagai simbol permohonan kepada roh penguasa agar memberi berkah kepada mempelai dan slametan pada waktu-waltu tertentu.
Bentuk keempat adalah dalam doa dan mantera. Bidang ini adalah hasil keberhasilan Islam dalam mengislamkan masyarakat Jawa tanpa mengubah polanya. Sunan Bonang adalah salah satu pelopor dalam hal ini. Beliau berhasil mengganti nama-nama dewa dalam doa dan mantera kultur Hindu-Budha Jawa dengan istilah rosul, malaikat dan tokoh-tokoh terkenal.
Bentuk kelima adalah dengan menggabungkap ajaran Islam dengan kemasan budaya lokal. Sebagai contohnya adalah kewajiban berbakti kepada orang tua disimbolkan dengan upacara sungkeman pada hari raya idul fitri, kupat sebagai simbol permohonan kesalahan yang berasal dari kata ngaku lepat (mengakui kesalahan).
Islam Jawa dalam masyarakat multikultural
Percampuran unsur yang berbeda antara Jawa, Budha-Hindu dengan Islam tidaklah semulus ketika Islam pertama kali dikenal oleh masyarakat Jawa. Sulit menentukan kapan persoalan sikretisme muncul, namun demikian masalah sinkretisme menjadi agenda utama umat Islam pada akhir abad ke-19. Pada masa itu, muncul gerakan modern Islam –Wahabbiyah- yang salah satu tujuannya adalah memurnikan ajaran islam dari praktek-praktek sinkretisme. Gerakan ini semakin kuat dengan semakin besarnya panduduk Jawa yang pergi ke Makkah dan menuntut ilmu dan tinggal di Makkah dalam waktu yang lama. Arus besar Jawa-Makkah ini disebabkan oleh semakin terbukanya iklim politik kolonial Belanda dan terbukanya terusan Suez. Mau-tidak-mau, ini adalah masa yang secara tidak langsung mengancam kestabilan dan keharmonisan Islam Jawa.
Bermula dari masa itulah Islam Jawa mengalami problem multikultural, yaitu ditandai dengan lahirnya diskriminasi. Kelompok Islam Jawa ini diartikan sebagai sekte Islam yang bertentangan dengan syariah Islam dan harus di luruskan menuju ajaran Islam sesungguhnya yang berjalan diatas syariat Islam. Pada ranah sosial-politik, Islam Jawa juga dipinggirkan. Negara sebagai pemangku kekuasaan tampaknya tidak bisa mengakomodir dan melindungi bentuk keislaman yang bernuansa Jawa ini. Pada akhirnya, Islam Jawa dikategorikan bukan agama sehingga harus dibina oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan diwasi oleh Kejaksaan semasa Orde Baru berkuasa.
Islam Jawa dan problem pengakuan
Daniel Barr menyatakan bahwa setiap individu memiliki kebutuhan untuk diakui indentitasnya (tend to be recognized). Identitas tersebut merupakan hal yang mendasar bagi manusia tidak hanya dalam proses pengasahan individu sebagai pribadi, namun indentitas tersebut juga merupakan kenyatan sosial yang seharusnya diakui eksistensinya. Selanjutnya, Barr mensyaratkan iklim demokratis, dalam melakukan setiap element sosial dalam berinteraksi dalam kemajemukan masyarakat. Pemilihan iklim demokratis bagi interaksi antar indentitas tersebut bagi Barr harus dilandaskan pada sikap toleransi, anti-diskriminasi, serta anti-dominasi atas individu atau kelompok lain, yang kesemuanya bermuara pada keadilan dalam kemanjemukan.
Hal senada juga diungkapkan Kymlica yang melihat iklim demokratis tidak hanya dibangun dari konteks khasanah yang memiliki kategori lokal, namun iklim demokratis tersebut harus juga dilindungi oleh penguasa. Kymlica mencatat bahwa tindakan diskriminasi kerap dilakukan oleh penguasa yang lazim disebut dengan structural violence (kekerasan struktural). Maka, demi terwujudnya keadilan sosial, akar diskriminasi pada level negara tersebut harus diberantas melalui iklim kekuasaan yang liberal, yang berorientasi pada keterbukaan setiap individu dan kelompok dalam masyarakat dengan kompleksitas ekspresi dan cara pandang mereka.
Dalam kontek keindonesia, Islam Jawa merupakan satu entitas yang memiliki indentitas dan harus dilindungi dan dilestarikan. Islam Jawa dengan corak pandang yang unik dan juga—mengutip istilah Charles Taylor—merupakan sebuah jawaban atas reaksi yang global dan lokal. Globalitas bagi Taylor ditandai dengan kemajemukan dan lokalitas dan merupakan reaksi sejarah yang khusus dari kontek global tersebut. Kedua hal tersebut –global-lokal- tidak seharusnya dipertentangkan, karena pada hakekatnya suatu kebudayaan merupakan entitas yang dinamis, serta melibatkan banyak pengalaman historis yang majemuk dan sangat berbeda-beda menurut ekosistem budaya dan alam di mana satu pemahaman berkembang dan berinteraksi secara bersama-sama. dengan cara pandang demikian, maka Islam Jawa merupakan entitas budaya yang mengalami “glokalisasi”, yakni Islam sebagai realitas global yang spektrumnya dalam masyarakat Jawa memunculkan Islam Jawa.
Ikhtitam
Kehadiran agama, salah satunya Islam, dalam ranah historis dengan wajah yang beragam merupakan sebuah kenicayaan. Keniscayaan tersebut tidak seharusnya menjadi sekat yang membatasi individu atau masyarakat untuk terus melakukan interaksi satu sama lain. Namun, dalam perjalanan sejaranya, perbedaan tersebut terkadang menjadi sekat yang terkadang harus berakhir dengan aksi-aksi destruktif. Sejarah mencatat banyaknya tindak kekerasan, diskriminasi sosial hingga politik serta konflik yang mengatasnamakan agama -sekalipun tidak satupun agama yang memperkenankan tindakan tersebut. Dengan demikian, agama harus dikembalikan pada hakekat utamanya, yakni diturun untuk kebajikan umat manusia.
Oleh karena itu, agama harus terus-menerus melakukan reinterpretasi ajaran dan doktrin agama dalam konteks masyarakat yang terus berkembang, apalagi mengingat pesatnya laju informasi dan komunikasi yang sepenuhnya didorong oleh berkembangnya tekhnologi, interaksi atau benturan atar partikularitas kehidupan manusia yang tidak bisa dihindari. Melirik pada pada realitas sosial yang kerap terjadi akhir-akhir ini, maka interpretasi agama haruslah mengarah pada pengentasan manusia, termasuk diskriminasi yang telah menjadi tragedi sejarah. Tentunya, pengentasan tersebut harus berakar pada prinsip-prisip keadilan, persamaan dan kebebasan yang menjadi ruh agama.
Dalam konteks negara, sudah selayaknya negara menghentikan persoalan diskriminasi atas setiap perbedaan tersebut. Negara harus menjadi pelindung perbedaan yang ada. Untuk menciptakan masyarakat ideal tersebut tentunya bangsa Indonesia telah memiliki modal sosial-budaya yang cukup besar dan sudah teruji oleh sejarah. Terbukti kehadiran agama-agama—Hindhu, Budha, Islam—di Indonesia selalu dibarengi oleh suasana harmonis dan penuh kedamaian.
Wallahu a’lamu bi as shawab.(http://nahdliyinbelanda.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar